BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Penyakit tuberkulosis
paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang
telah menginfeksi hampir sepertiga penduduk dunia dan pada sebagian besar
negara di dunia tidak dapat
mengendalikan penyakit TBC ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak
berhasil disembuhkan. WHO dalam Annual Report on Global TB Control 2003 menyatakan
terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high burden countris terhadap TBC ,
termasuk Indonesia. 2)
Indonesia menduduki
urutan ke 3 dunia setelah India dan Cina untuk jumlah penderita TBC di dunia.
Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Tahun 2011, menunjukkan bahwa
penyakit TBC merupakan penyebab kematian
nomor 3 setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit pernafasan pada semua kelompok
usia, dan nomor 1 dari golongan penyakit infeksi. 2)
WHO memperkirakan,
setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru tuberkulosis, dengan kematian karena
tuberkulosis sekitar 140.000, secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk
Indonesia terdapat 130 penderita baru tuberkulosis paru BTA positif. 3)
Kasus di Propinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT) berdasarkan Laporan Program Pemberantasan Penyakit Menular
tahun 2012 ditemukan kasus baru penderita tuberkulosis paru sebanyak 1145 penderita,
meninggal 560. Kasus baru tuberkulosis paru untuk Kabupaten Alor tahun 2012
total absolut 235 penderita. Angka prevalensi penyakit tuberkulosis paru di
tahun 2013 untuk Kabupaten Alor sebesar 258 per 100.000 penduduk.4)
Berdasarkan laporan
dari Puskesmas Mebung ada peningkatan kasus tuberkulosis paru dari tahun ke
tahun, diantaranya dilihat dari cakupan penemuan penderita tuberkulosis BTA positif
atau Case Detection Rate (CDR) pada tahun 2011 sebesar 18 %, tahun 2012 sebesar
26%, tahun 2013 tercacat 33%. Hal ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Alor kasus
penyakit tuberkulosis paru masih tinggi.5)
Jumlah kasus
tuberkulosis paru BTA positif di Kecamatan Alor Tengah Utara 88 penderita.
Sementara keadaan rumah di Kecamatan Alor Tengah Utara dari 564 rumah, terdapat
47 rumah permanen, 294 rumah semi permanen dan 223 rumah tidak permanen.
Kondisi rumah yang memenuhi syarat
kesehatan yang baru mencapai 38,99 %,
berarti masih dibawah target Departemen Kesehatan yaitu lebih dari 80 %
penduduk tinggal dalam rumah sehat. 6)
Penyakit tuberkulosis
paru yang terjadi pada orang dewasa sebagian besar terjadi pada orang-orang
yang mendapatkan infeksi primer pada waktu kecil yang tidak ditangani dengan
baik. Beberapa faktor yang erat hubungannya dengan terjadinya infeksi basil
tuberkulosis adalah adanya sumber penularan, tingkat paparan, virulensi, daya
tahan tubuh yang erat kaitannya dengan faktor genetik, faktor faali, jenis
kelamin, usia, status gizi, perumahan dan jenis pekerjaan.7)
Hasil penelitian pada
tahun 2007 di Kabupaten Sikka menyimpulkan bahwa ada hubungan antara variabel
kelembaban rumah, kepadatan penghuni rumah, luas ventilasi rumah dan
pencahayaan rumah dengan kejadian tuberkulosis pada anak.8)
Penelitian pada tahun
2004 di Kabupaten Agam Sumatera Barat menyimpulkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara kesehatan lingkungan rumah, status gizi dan sumber penularan dengan
kejadian penyakit tuberkulosis paru di kabupaten Agam Sumatera Barat. 9)
Faktor risiko yang
berperan terhadap timbulnya kejadian penyakit tuberkulosis paru dikelompokkan
menjadi 2 kelompok faktor risiko, yaitu faktor risiko kependudukan (jenis
kelamin, umur, status gizi, kondisi sosial ekonomi) dan faktor risiko
lingkungan (kepadatan, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, dan
ketinggian).2)
Berdasarkan uraian diatas maka akan
dilakukan Kesehatan lingkungan rumah yang berhubungan dengan kejadian
tuberkulosis paru di Puskesmas Mebung Kabupaten Alor.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian dan
latar belakang tersebut di atas dapat di rumuskan sebagi berikut “Bagaimana
Hubungan Kesehatan Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di Puskesmas Mebung
Kecamatan Alor Tengah Utara Kabupaten Alor”.
C.
Tujuan
Penelitian
1. Tujuan
Umum
Mengetahui hubungan Kesehatan Lingkungan
Rumah dengan kejadian Tuberkulosis Paru di Puskesmas mebung Kabupaten Alor
2. Tujuan
Khusus
a. Diketahui
hubungan suhu rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Mebung
Kabupaten Alor
b. Diketahui
hubungan kelembaban rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Mebung
Kabupaten Alor
c. Diketahui
hubungan luas ventilasi rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas
Mebung Kabupaten Alor
d. Diketahui
hubungan intensitas pencahayaan rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di
Puskesmas Mebung Kabupaten Alor
e. Diketahui
hubungan kepadatan hunian rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas
Mebung Kabupaten Alor
f. Diketahui
hubungan jenis lantai rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas
Mebung Kabupaten Alor
D.
Manfaat
Penelitian
1. Masyarakat
Menambah pengetahuan
masyarakat tentang penyakit tuberkulosis paru terutama faktor kesehatan
lingkungan rumah apa saja yang berhubungan cara penularan, pencegahan, dan
pengobatannya.
2. Instansi
terkait (Puskesmas dan Dinas Kesehatan)
Sebagai bahan
pertimbangan dan pemikiran bagi program pemberantasan penyakit tuberkulosis
paru terutama untuk menentukan kebijakan dalam perencanaan, pelaksanaan serta
evaluasi program.
3. Institusi
pendidikan
Menambah bahan
referensi bagi institusi dan merupakan data awal bagi peneliti selanjutnya.
4. Bagi
Peneliti
Menambah pengetahuan, wawasan, dan pengalaman langsung dalam pelaksaan
penelitian, serta merupakan pengetahuan yang di peroleh dalam melaksanakan
penelitian dilapangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Tuberkulosis
Paru
1.
Pengertian
Tuberkulosis paru
adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis
tipe Humanus. Kuman tuberkulosis pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada
tahun 1882. Jenis kuman tersebut adalah Mycobacterium tuberculosis,
Mycobacterium africanum dan Mycobacterium bovis. Basil tuberkulosis termasuk
dalam genus Mycobacterium, suatu anggota dari family dan termasuk ke dalam ordo
Actinomycetales. Mycobacterium tuberculosis menyebabkan sejumlah penyakit berat
pada manusia dan juga penyebab terjadinya infeksi tersering .11)
Basil–basil tuberkel di
dalam jaringan tampak sebagai mikroorganisme berbentuk batang, dengan panjang
berfariasi antara 1 – 4 mikron dan diameter 0,3 – 0,6 mikron. Bentuknya sering
agak melengkung dan kelihatan seperti manik – manik atau bersegmen. Basil
tuberkulosis dapat bertahan hidup selama beberapa minggu dalam sputum kering,
ekskreta lain dan mempunyai resistensi tinggi terhadap antiseptik, tetapi
dengan cepat menjadi inaktif oleh cahaya matahari, sinar ultraviolet atau suhu
lebih tinggi dari 60 0C.12)
Mycobacterium
tuberculosis masuk ke dalam jaringan paru melalui saluran napas (droplet
infection) sampai alveoli, terjadilah infeksi primer. Selanjutnya menyebar ke
getah bening setempat dan terbentuklah primer kompleks. Infeksi primer dan
primer kompleks dinamakan TB primer, yang dalam perjalanan lebih lanjut
sebagian besar akan mengalami penyembuhan.13)
2. Patogenesis
Penularan biasanya
melalui udara, yaitu secara inhalasi “droplet nucleus“ yang mengandung basil
TB. Droplet dengan ukuran 1 – 5 mikron yang dapat melewati atau menembus sistem
mukosilier saluran nafas kemudian mencapai dan bersarang di bronkiolus dan
alveolus. Beberapa penelitian menyebutkan 25% - 50% angka terjadinya infeksi
pada kontak tertutup. 14) Karena di dalam tubuh pejamu belum ada kekebalan
awal, hal ini memungkinkan basil TB tersebut berkembang biak dan menyebar
melalui saluran limfe dan aliran darah.15)
Sebagian basil TB
difagositosis oleh makrofag di dalam alveolus tapi belum mampu membunuh basil
tersebut, sehingga basil dalam makrofag umumnya dapat tetap hidup dan
berkembang biak. Basil TB yang menyebar melalui saluran limfe mencapai kelenjar
limfe regional, sedangkan yang melalui aliran darah akan mencapai berbagai
organ tubuh, dan di dalam organ tersebut akan terjadi proses dan transfer
antigen ke limfosit. Kuman TB hampir selalu dapat bersarang di dalam sumsum
tulang, hati, kelenjar limfe, tetapi tidak selalu dapat berkembang biak secara
luas, sedangkan basil TB di lapangan atas paru, ginjal, tulang dan otak lebih
mudah berkembang biak terutama sebelum imunitas terbentuk. Infeksi yang alami,
setelah sekitar 4 – 8 minggu tubuh melakukan mekanisme pertahanan secara cepat.
Pada sebagian anak-anak atau orang dewasa mempunyai pertahanan alami terhadap
infeksi primer sehingga secara perlahan dapat sembuh. Tetapi kompleks primer
ini dapat lebih progresif dan membesar yang pada akhirnya akan muncul menjadi
penyakit tuberkulosis setelah 12 bulan. Kurang lebih 10% individu yang terkena
infeksi TB akan menderita penyakit TB dalam beberapa bulan atau beberapa tahun
setelah infeksi. Kemungkinan menjadi sakit terutama pada balita, pubertas dan
akil balig dan keadaan-keadaan yang menyebabkan turunnya imunitas seperti
infeksi HIV, penggunaan obat-obat imunosupresan yang lama, diabetes melitus dan
silikosis.
Sebagian besar orang
yang telah terinfeksi (80 – 90 %), belum tentu menjadi sakit tuberkulosis.
Untuk sementara, kuman yang ada dalam tubuh berada dalam keadaan dormant
(tidur), dan keberadaan kuman dormant tersebut diketahui hanya dengan tes
tuberkulin. Mereka menjadi sakit (menderita tuberkulosis) paling cepat setelah
3 bulan setelah terinfeksi, dan mereka yang tidak sakit tetap mempunyai risiko
untuk menderita tuberkulosis sepanjang hidupnya .13)
3.
Cara Penularan
Penularan penyakit
Tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacteriun tuberculosis ditularkan
melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan
percikan ludah yang mengandung bakteri terhirup oleh orang lain saat bernapas.
Sumber penularan adalah pasien Tuberkulosis paru BTA positif, bila penderita batuk,
bersin atau berbicara saat berhadapan dengan orang lain, basil Tuberkulosis
tersembur dan terhisap ke dalam paru orang sehat dan bisa menyebar ke bagian
tubuh lain melalui peredaran darah pembuluh limfe atau langsung ke organ
terdekat. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
Masa inkubasinya selama 3-6 bulan
Lingkungan yang kurang
baik sebagai salah satu reservoir atau tempat baik dalam menularkan penyakit
menular seperti penyakit tuberkulosis. Peranan faktor lingkungan sebagai predisposing
artinya berperan dalam menunjang terjadinya penyakit pada manusia, misalnya
sebuah keluarga yang berdiam dalam suatu rumah yang berhawa lembab dalam daerah
yang endemis terhadap penyakit Tuberkulosis.
Umumnya penularan
terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama.
Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat
membunuh kuman.
Menurut Depkes RI
(2008), risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Pasien Tuberkulosis paru dengan BTA positif memberikan risiko penularan lebih
besar dari pasien Tuberkulosis Paru dengan BTA negatif.
Setiap satu BTA positif
akan menularkan kepada 10-15 orang lainnya, sehingga kemungkinan setiap kontak
untuk tertular Tubekulosis adalah 17%. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa
kontak terdekat (misalnya keluarga serumah) akan dua kali lebih berisiko dibandingkan
kontak biasa (tidak serumah).
Angka risiko penularan
infeksi Tuberkulosis setiap ditunjukan dengan Annual Risk of Tuberculosis
Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi Tuberkulosis
selama satu tahun. ARTI di Indonesia sebesar 1-3% yang berarti di antara 100
penduduk terdapat 1-3 warga yang terinfeksi Tuberkulosis. Setengah dari mereka
BTAnya akan positif (0,5%).
Faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien Tuberkulosis adalah daya
tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi Tuberkulosis
menjadi sakit Tuberkulosis. Infeksi HIV
mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity),
sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunity), seperti Tuberkulosis, maka
yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian.
Faktor-faktor yang erat
hubungannya dengan infeksi basil Tuberkulosis adalah :
a.
Harus ada sumber penularan
b.
Jumlah basil yang mempunyai kemampuan mengadakan
terjadinya infeksi, cukup banyak dan terus menurus.
c.
Virulensi (keganasan) basil.
d.
Daya tahan tubuh yang menurun sehingga
memungkinkan basil Tuberkulosis berkembang biak.
4. Gejala-gejala
Tuberkulosis
Gejala klinis pasien
Tuberkulosis Paru menurut Depkes RI (2008), adalah :
a.
Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih.
b.
Dahak bercampur darah.
c.
Batuk berdarah.
d.
Sesak napas.
e.
Badan lemas.
f.
Nafsu makan menurun.
g.
Berkeringat malam hari tanpa kegiatan
fisik.
h.
Demam meriang lebih dari satu bulan.
Dengan strategi yang
baru DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) gejala utamanya adalah
batuk berdahak dan/atau terus-menerus selama tiga minggu atau lebih.
Berdasarkan keluhan tersebut, seseorang sudah dapat ditetapkan sebagai tersangka.
Gejala lainnya adalah gejala tambahan. Dahak penderita harus diperiksa dengan
pemeriksaan mikroskopis.
5. Penemuan
Pasien Tuberkulosis
a.
Penemuan Pasien Tuberkulosis Pada Orang
Dewasa
Kegiatan penemuan
pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi
penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam
kegiatan program penanggulangan Tuberkulosis.
Penemuan dan penyembuhan
pasien Tuberkulosis menular secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan
kematian akibat Tuberkulosis, penularan Tuberkulosis di masyarakat dan
sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan Tuberkulosis yang paling efektif
di masyarakat.
Strategi penemuan
pasien Tuberkulosis dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan
tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan, didukung dengan
penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk
meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien Tuberkulosis.
Pemeriksaan terhadap
kontak pasien Tuberkulosis, terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga
anak yang menunjukan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Penemuan secara
aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif.
b.
Penemuan Pasien Tuberkulosis Pada
Anak
Diagnosis
Tuberkulosis pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis
maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama.
Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis Tuberkulosis anak
perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor yang dilakukan dokter dengan
parameter : kontak Tuberkulosis, uji tuberkulin, berat badan/keadaan gizi,
demam tanpa sebab jelas, batuk, pembesaran kelenjar limpe, koliaksila,
inguinal, pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang, foto thoraks.
6.
Klasifikasi Penyakit dan Tipe
PasienTuberkulosis Paru
a.
Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru
Klasifikasi penyakit
Tuberkulosis paru berdasarkan pemeriksaan dahak menurut Depkes RI (2008),
dibagi dalam :
a)
Tuberkulosis paru BTA positif.
1.
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak
SPS hasilnya BTA positif.
2.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.
3.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif
dan biakan kuman Tuberkulosis positif.
4.
1 atau lebih spesimen dahak hasinya
positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA
negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
b)
Tuberkulosis paru BTA negatif.
Kasus yang tidak
memenuhi definisi pada Tuberkulosis paru BTA positif.
Kriteria diagnostik
Tuberkulosis paru BTA negatif harus meliputi :
1.
Paling tidak 3 spesimen dahak SPS
hasilnya negative.
2.
Foto toraks abnormal menunjukkan
gambaran Tuberkulosis.
3.
Tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non OAT.
4.
Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter
untuk diberi pengobatan.
b.
Tipe Pasien Tuberkulosis Paru
Klasifikasi pasien
Tuberkulosis Paru berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe,
yaitu :
1)
Baru
Adalah pasien yang
belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4
minggu).
2) Kambuh
(Relaps)
Adalah pasien
Tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan Tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau
kultur).
3) Pengobatan
setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang
telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4) Gagal
(Failure)
Adalah pasien yang
hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada
bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5) Pindahan
(Transfer In)
Adalah pasien yang
dipindahkan dari UPK yang memiliki register Tuberkulosis lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
6) Lain-lain.
Adalah semua kasus yang
tidak memenuhi ketentuan diatas. Kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu
pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan
ulangan.
7.
Upaya Pencegahan dan Pemberantasan
Tuberkulosis Paru
Upaya pencegahan adalah
upaya kesehatan yang dimaksudkan agar setiap orang terhindar dari terjangkitnya
suatu penyakit dan dapat mencegah terjadinya penyebaran penyakit.
Tujuannya adalah untuk
mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit yaitu penyebab
penyakit (agent), manusia atau tuan rumah (host) dan faktor lingkungan
(environment).
Pencegahan Tuberkulosis
yang utama bertujuan memutus rantai penularan yaitu menemukan pasien
Tuberkulosis paru dan kemudian mengobatinya sampai benar-benar sembuh.
Cara pencegahan dan
pemberantasan Tuberkulosis secara efektif diuraikan sebagai berikut :
a.
Melenyapkan sumber infeksi, dengan :
1)
Penemuan penderita sedini mungkin.
2)
Isolasi penderita sedemikian rupa selama
masih dapat menularkan
3)
Segara diobati.
b.
Memutuskan mata rantai penularan.
c.
Pendidikan kesehatan kepada masyarakat
tentang penyakit Tuberkulosis paru.
Untuk
memberantas penyakit Tuberkulosis paru kita harus mampu mempengaruhi
unsur-unsur seperti manusia, perilaku dan lingkungan serta memperhitungkan
interaksi dari ketiga unsur tersebut.
Menurut
Rajagukguk (2008), yang mengutip penelitian tentang keberhasilan usaha
pemberantasan Tuberkulosis paru juga tergantung pada :
a.
Keadaan sosial ekonomi rakyat.
Makin buruk keadaan sosial ekonomi
masyarakat, sehingga nilai gizi dan sanitasi lingkungan jelek, yang mengakibatkan
rendahnya daya tahan tubuh mereka sehingga mudah menjadi sakit bila tertular
Tuberkulosis.
b.
Kesadaran berobat si penderita
Kadang-kadang walaupun penyakitnya
agak berat si penderita tidak merasa sakit,
sehingga tidak mau mencari pengobatan.
c.
Pengetahuan penderita, keluarga dan masyarakat
pada umumnya tentang penyakit Tuberkulosis.
Makin rendah pengetahuan penderita tentang bahaya
penyakit Tuberkulosis untuk dirinya, keluarga dan masyarakat sekitarnya makin
besar pula bahaya si penderita sebagai sumber penularan penyakit, baik dirumah
maupun tempat pekerjaannya untuk keluarga dan orang disekitarnya.
B.
Lingkungan
Lingkungan adalah
segala sesuatu baik fisik, biologis, maupun sosial yang berada disekitar manusia
serta pengaruh-pengaruh luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan
manusia.
Unsur-unsur lingkungan
sebagai berikut :
1.
Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik adalah segala sesuatu
yang berada disekitar manusia yang bersifat tidak bernyawa misalnya air, tanah,
kelembaban udara, suhu, angin, rumah dan benda mati lainnya.
2.
Lingkungan Biologi
Lingkungan biologi adalah segala sesuatu
yang bersifat hidup seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, termasuk mikroorganisme.
3.
Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial adalah segala sesuatu
tindakan yang mengatur kehidupan manusia dan usaha-usahanya untuk mempertahankan
kehidupan seperti pendidikan pada tiap individu, rasa tanggung jawab, pengetahuan
keluarga, jenis pekerjaan, jumlah penghuni dan keadaan ekonomi.
4.
Lingkungan Rumah
Lingkungan rumah adalah segala sesuatu
yang ada di dalam rumah. Lingkungan rumah terdiri dari lingkungan fisik yaitu
ventilasi, suhu, kelembaban, lantai, dinding serta lingkungan sosial yaitu
kepadatan penghuni.
C.
Perumahan Sehat
Menurut Winslow dan
APHA yang dikutip oleh Suyono dan Budiman
(2011), perumahan yang sehat harus memenuhi beberapa persyaratan, antara
lain memenuhi kebutuhan fisiologis, memenuhi kebutuhan psikologis, mencegah penularan
penyakit, dan mencegah terjadinya kecelakaan.
1.
Persyaratan Rumah Sehat
Rumah sehat menurut Winslow dan APHA
yang dikutip oleh Suyono dan Budiman (2011), menetapkan fungsi pokok pembangunan rumah sebagai tempat
tinggal yang sehat, sebagai berikut :
a.
Perumahan yang sehat harus memenuhi
kebutuhan fisiologis :
1) Pencahayaan
yang cukup, baik cahaya alam (sinar matahari) maupun cahaya buatan (lampu).
2) Penghawaan
(ventilasi) yang cukup untuk proses penggantian udara dalam ruangan.
3) Tidak
terganggu oleh suara-suara yang berasal dari luar maupun dalam rumah (termasuk
radiasi).
4) Cukup
tempat bermain bagi anak-anak dan untuk belajar.
b.
Perumahan yang memenuhi kebutuhan
psikologis :
1) Setiap
anggota keluarga terjamin ketenangannya dan kebebasannya (privacy), tidak
terganggu oleh anggota keluarga dalam rumah maupun oleh tetangga atau orang
lewat.
2) Mempunyai
ruang untuk berkumpulnya anggota keluarga.
3) Lingkungan
yang sesuai, homogen, tidak terlalu ada perbedaan tingkat yang ekstrem di lingkungannya.
Misalnya tingkat ekonomi.
4) Mempunyai
fasilitas kamar mandi dan WC sendiri.
5) Jumlah
kamar tidur dan pengaturannya harus disesuaikan dengan umur dan jenis
kelaminnya. Orangtua dan anak dibawah 2 tahun boleh satu kamar. Anak di atas 10
tahun dipisahkan antara laki-laki dan
perempuan. Anak umur 17 tahun ke atas diberi kamar sendiri
6) Jarak
antara tempat tidur minimal 90 cm untuk
terjaminnya keleluasaan bergerak, bernapas dan untuk memudahkan membersihkan
lantai.
7) Ukuran
ruang tidur anak yang berumur ≤ 5 tahun sebesar 4,5 m³, dan yang umurnya 5
tahun adalah 9 m³. Artinya dalam satu ruangan anak yang berumur 5 tahun kebawah
diberi kebebasan menggunakan volume ruangan 1,5 x 1 x 3 m³, dan diatas 5 tahun
menggunakan ruangan 3 x 1 x 3 m³.
8) Mempunyai
halaman yang dapat ditanami pepohonan.
9) Hewan/ternak
yang akan mengotori ruangan dan ribut/bising hendaknya dipindahkan dari rumah
dan dibuat kandang tersendiri dan mudah dibersihkan.
c.
Perumahan juga harus mampu mencegah
penularan penyakit :
1) Tersedianya
air bersih untuk minum yang memenuhi syarat kesehatan.
2) Tidak
memberi kesempatan serangga (nyamuk dan lalat), tikus dan binatang lainnya bersarang di dalam atau
di sekitar rumah.
3) Pembuangan
kotoran (tinja) dan air limbah memenuhi syarat kesehatan.
4) Pembuangan
sampah pada tempat yang baik, kuat dan higienis.
5) Luas
kamar tidur maksimal 3,5 m² per orang dan tinggi langit-langit maksimal 2,7 m.
Ruangan yang terlalu luas akan menyebabkan mudah masuk angin, tidak nyaman
secara psikologis (gamang), sedang apabila terlalu sempit akan menyebabkan
sesak napas dan memudahkan penularan penyakit karena terlalu dekat kontak.
6) Tempat
masak dan menyimpan makanan harus bersih dan bebas dari pencemaran atau
gangguan serangga (lalat, semut, lipas dll) dan tikus serta debu.
d.
Perumahan harus memenuhi keamanan untuk tidak
terjadinya kecelakaan
2.
Sanitasi Perumahan dan Hubungannya
dengan Tuberkulosis Paru
Menurut Departemen
Kesehatan RI (1997), sanitasi adalah
usaha pencegahan penyakit untuk melenyapkan, mengendalikan faktor-faktor
lingkungan yang merupakan mata rantai penularan penyakit.
Menurut Ehlers dan
Steel yang dikutip oleh Rajagukguk (2008) adalah usaha-usaha pengawasan yang
ditujukan terhadap faktor-faktor lingkungan yang dapat merupakan mata rantai
penularan penyakit. Jadi berdasarkan kedua definisi diatas, disimpulkan inti
dari sanitasi adalah pengawasan terhadap faktor-faktor lingkungan untuk menghindari
penularan penyakit dari satu orang kepada orang lain.
Bila dihubungkan dengan
perumahan sebagai faktor lingkungan, sanitasi tersebut meliputi kegiatan usaha
yang sasarannya adalah segala aspek yang berkaitan dengan rumah sehingga tidak
menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan penghuninya.
Penyehatan perumahan
dan lingkungan perlu dilakukan karena erat kaitannya dengan masalah kesehatan
masyarakat. Untuk menunjukkan bahwa kondisi perumahan yang tidak sehat sangat
berpengaruh dalam penularan penyakit dilihat dari data-data penelitian yang
sudah ada.
Berdasarkan hasil
Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2011 didapatkan hasil sebagai
berikut :
a.
35,8% rumah tidak mempunyai kamar tidur
terpisah.
b.
34% rumah mempunyai lubang penghawaan,
pencahayaan, lantai, dinding dan atap yang buruk.
Menurut berbagai
penelitian, penyakit saluran pernafasan dan tuberkulosis dapat dicegah dengan
terpenuhinya suatu rumah dari pencahayaan, ventilasi, tidak lembab, tidak padat
penghuni (minimal 10 m³ per orang), mempunyai kamar lebih dari satu, asap dapur
tidak dapat masuk ke kamar tidur/ruang tamu
Hal diatas menunjukkan
betapa besar pengaruh sanitasi perumahan terhadap kejadian penularan penyakit
Tuberkulosis, begitu juga untuk penyakit menular lainnya apabila rumah tersebut
tidak memenuhi syarat sanitasi.
Di daerah-daerah
pedesaan, masalah perumahan masih banyak yang belum memenuhi syarat kesehatan
sedangkan di kota-kota sudah ada kemajuan, tetapi di berbagai tempat masih
terdapat perumahan yang sama sekali tidak memenuhi persyaratan kesehatan, yang
sering disebut dengan daerah kumuh.
Perumahan yang tidak
sehat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
a.
Taraf sosial ekonomi yang masih rendah
b.
Kurangnya pengertian tentang kesehatan
c.
Sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi
syarat
d.
Kepadatan penghuni (over crowding)
e.
Konstruksi bangunan yang tidak memenuhi
syarat-syarat kesehatan
Perumahan yang tidak
memenuhi persyaratan fisik akan menimbulkan gangguan kesehatan antara lain yang
erat kaitannya dengan penyebaran penyakit Tuberkulosis paru adalah luas
ruangan, ventilasi, konstruksi lantai dan pencahayaan sinar matahari yang tidak
memenuhi persyaratan sanitasi.
3.
Luas Ruangan
Rumah yang sehat harus
memenuhi persyaratan psikologis meliputi privacy (kebebasan), security (keamanan), safety (perlindungan), comfort
(kebahagiaan dan kesenangan) dan relax (ketenangan), disamping itu juga harus
memenuhi fisik yang meliputi konstruksi yang baik dan memenuhi syarat kesehatan
dan sanitasi yang baik
Salah satu syarat
konstruksi yang harus diperhatikan
sehubungan dengan penyakit Tuberkulosis Paru adalah luas ruangan rumah. Ada dua
pendapat yang representatif yaitu yang pertama ukuran luas ruangan suatu
perumahan erat kaiatannya dengan terjadinya Tuberkulosis Paru. Pendapat kedua
kejadian Tuberkulosis Paru paling besar diakibatkan keadaan rumah yang tidak
memenuhi syarat pada luas ruangannya.
Ruangan suatu rumah
juga berperan dalam meningkatkan jumlah bakteri, hal ini terjadi apabila
terdapat sumbernya misalnya adanya penderita Tuberkulosis Paru, sehingga
kondisi ruangan yang memang mendukung perkembangan bakteri dan mikroorganisme
lain akan menyebabkan jumlah bakteri juga mengalami peningkatan jumlahnya yang
membawa resiko bagi orang lain.
4.
Ventilasi
Hawa segar diperlukan
untuk mengganti udara ruangan yang sudah terpakai. Udara bebas mempunyai susunan
unsur :
a.
Oksigen (zat asam) 20,7%
b.
Nitrogen (zat lemas) 78,8%
c.
Karbon dioksida (gas asam arang) 0,04%
d.
Uap air 0,46%
e.
Ozon (O), amoniak (NH), hidrogen (H2)
dan lain-lain.
Suatu ruangan yang
terlalu padat penghuninya dapat memberikan dampak yang buruk terhadap kesehatan
para penghuni rumah tersebut, untuk itu pengaturan sirkulasi udara sangat
diperlukan.
Pengadaan ventilasi
adalah untuk menyediakan udara segar dan melenyapkan udara jenuh, tapi tidak
ada sangkut pautnya dengan komposisi kimia, namun ia tetap menghubungan dengan
pencegahan terjadinya akumulasi gas-gas beracun dan mikroorganisme di ruangan. Rumah
yang ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan mengakibatkan perasaan sesak,
pengap, cepat lelah dan keaktifan menurun. Hal ini disebabkan oleh peningkatan
suhu udara yang di keluarkan oleh tubuh dan tertahan di dalam ruangan, tidak adanya
pergerakan udara serta kelembaban yang tinggi akibat uap air yang dilepaskan
oleh paru-paru.
Keadaan ini dapat
diatasi dengan menggerakkan udara dalam ruangan, misalnya dengan kipas angin atau
dengan membuat ventilasi. Tidak adanya ventilasi yang baik di suatu ruangan
akan semakin membahayakan kesehatan jika didalam ruangan tersebut terdapat
penderita Tuberkulosis Paru.
Menurut Suyono dan
Budiman (2011), udara segar sangat diperlukan untuk penggantian hawa dan menjaga
temperatur udara dan kelembaban dalam ruangan. Idealnya temperatur udara dalam
ruangan harus lebih rendah dari temperatur luar paling kurang 4º C khususnya untuk
daerah tropis. Temperatur kamar sekitar
22-30º C sudah cukup segar. Pergantian udara bersih untuk orang dewasa adalah
33 m³/orang/jam, kelembaban udara sekitar 60% optimum.
Ventilasi udara dalam
ruangan harus memenuhi syarat lain di antaranya :
a.
Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5%
dari luas lantai ruangan, selain itu luas ventilasi insidentil (buka dan tutup)
minimum 5% luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai. Ukuran
luas ini diatur sedemikian rupa agar
udara yang masuk tidak terlalu deras dan tidak terlalu sedikit.
b.
Udara yang masuk harus udara bersih, tidak
tercemar gas atau asap dari pembakaran sampah, pabrik, knalpot kendaraan, asap
rokok, debu, dll.
c.
Aliran udara jangan membuat orang masuk
angin, untuk ini jangan menempatkan tempat tidur atau tempat duduk persis pada
aliran udara, misalnya di depan jendela atau pintu.
d.
Aliran udara mengikuti aturan cross
ventilation dengan menempatkan lubang ventilasi berhadapan/berseberangan antara
2 dinding ruangan. Aliran udara ini jangan terhalang oleh barang- barang besar
seperti lemari, dinding sekat dan lain-lain.
e.
Kelembaban udara jangan sampai terlalu tinggi
(menyebabkan orang berkeringat) dan jangan terlalu rendah (menyebabkan kulit
kering, bibir pecah-pecah dan hidung sampai berdarah). Udara dalam ruangan
setelah terpakai susunannya menjadi, oksigen 15,4%, CO² 4,4%, nitrogen 79,2%,
uap air 1,0%.
Macam
ventilasi adalah ventilasi alami dan ventilasi buatan. Ventilasi alami misalnya
dengan memasang jendela dan lobang-lobang angin serta menggunakan bahan-bahan untuk
dinding, lantai yang berpori-pori.
Ventilasi
buatan diperlukan untuk membantu fungsi dari ventilasi alami yang kadang-kadang
tidak berfungsi dengan baik, sehingga kebersihan udara, kelembaban, temperatur,
kecepatan angin dan pergantian udara tidak dapat diatasi. Ventilasi buatan yang
kita kenal di antaranya sebagai berikut :
a.
Fan (kipas angin), perputaran
baling-baling menghasilkan pergerakan udara ke depan. Semakin cepat
baling-baling diputar, semakin deras angin yang dihasilkan. Penggunaan kipas
angin dapat menimbulkan masuk angin bagi yang tidak tahan.
b.
Exhauster/exhaust fan, prinsip kerjanya
hampir sama dengan fan, namun exhauster ditempatkan pada dinding yang fungsinya
mengisap udara dalam ruangan keluar dan sekaligus menarik udara segar dari luar masuk kedalam ruangan
melalui lubang udara lain di seberang exhauster tersebut. Exhauster dapat juga
menyedot udara dari luar dan menekan udara kotor keluar ruangan melalui lubang
udara di seberangnya. Ada jenis lain dari exhauster fan ini dipasang pada
lanit-langit atau plafon disebut ceiling fan.
c.
Air conditioned (AC). Prinsip kerja AC
adalah mengisap udara dalam ruangan, disaring dan didinginkan kemudian disemprotkan
kembali ke dalam ruangan dengan temperatur yang dapat disesuaikan melalui
tombol mekanik atau melalui remote control.
5.
Lantai
Perkembangbiakan
mikroorganisme pada ruangan rumah juga dipengaruhi oleh kondisi lantai yang
tidak memenuhi syarat kesehatan. Lantai rumah juga dipengaruhi oleh kondisi
lantai yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Lantai rumah biasanya hanya berupa
tanah atau batu bata yang langsung diletakkan diatas tanah, sehingga
kelembabannya sangat tinggi dan pada musim panas dapat menyebabkan udara
berdebu.
Umumnya masyarakat
Indonesia terutama yang tinggal di daerah pedesaan belum memperhatikan kondisi
perumahan khususnya kondisi lantai yang biasanya hanya berupa tanah saja. Lantai
dari tanah atau batu bata biasanya langsung diletakkan di atas tanah, sehingga
menjadi lembab. Oleh karena itu perlu suatu lapisan yang kedap air, seperti semen,
susunan tegel dan lain-lain. Sedangkan papan sudah jarang digunakan lagi, kecuali
pada rumah-rumah panggung.
Lantai yang tidak
memenuhi syarat dapat mengundang berbagai serangga dan tikus untuk bersarang,
demikian juga kotoran yang melekat padanya. Biasanya tanah dan debu banyak
mengandung mikroorganisme berbahaya antara lain kuman Tuberkulosis.
Lantai perumahan yang
dipersyaratkan di Indonesia seperti telah ditetapkan oleh Departemen Pekerjaan
Umun adalah tidak mudah aus, kedap air, mudah dibersihkan, tidak lentur, tidak
mudah terbakar dan harus memenuhi normalisasi serta peraturan yang berlaku.
6.
Pencahayaan Sinar Matahari
Salah satu syarat rumah
sehat adalah tersedianya cahaya yang cukup. Karena suatu rumah atau ruangan
yang tidak mempunyai cahaya yang cukup, selain dapat menimbulkan perasaan
kurang nyaman, juga dapat mendatangkan penyakit. Sinar matahari berperan secara
langsung dalam mematikan bakteri dan mikroorganisme lain yang terdapat di lingkungan rumah, dengan demikian sinar matahari
sangat diperlukan di dalam suatu ruangan rumah terutama ruangan tidur, khususnya
sinar matahari pagi yang dapat menghambat perkembangbiakan kuman tuberkulosis
dan kuman penyakit lainnya.
Penerangan alami yang
diperoleh dengan masuknya cahaya matahari yang terang dan tidak silau sehingga
dapat di pergunakan untuk membaca normal atau sekitar 50-100 lux yang masuk
kedalam ruangan melalui jendela, celah
maupun bagian lain dari rumah, selain berguna untuk penerangan juga mengurangi kelembaban,
mengusir nyamuk atau serangga lainnya
dan membunuh kuman penyakit tertentu, misalnya untuk membunuh bakteri adalah
cahaya dengan panjang gelombang di bawah 4000 A yakni sinar ultra violet
Cahaya matahari ini
berguna selain untuk penerangan, juga dapat mengurangi kelembaban ruangan,
mengusir nyamuk, membunuh kuman penyakit tertentu seperti TBC, Influensa,
penyakit mata dan lain-lain
Cara dalam mengupayakan
masuknya sinar matahari keruangan rumah, dapat dilakukan dengan membuat jendela
kaca, pintu kaca, dinding kaca dan genteng kaca. Pencahayaan yang baik adalah
terang dan tidak silau sehingga dapat dipergunakan untuk membaca dengan normal
D.
Perilaku
Lingkungan mempunyai
andil yang paling besar terhadap status kesehatan, kemudian berturut-turut
disusul oleh perilaku mempunyai andil nomor dua, pelayanan kesehatan, dan
keturunan mempunyai andil yang paling kecil terhadap status kesehatan.
Perilaku itu
dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni :
1.
Faktor-faktor predisposisi (predisposing
factors) mencakup pengetahuan dan sikap
masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal
yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat
pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.
2.
Faktor-faktor pemungkin (enambling
factors) mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan
bagi masyarakat.
3.
Faktor-faktor yang memperkuat atau
mendorong (reinforcing factors) meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat,
tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Juga
undang-undang dan peraturan.
Oleh sebab itu,
pendidikan kesehatan sebagai faktor usaha intervensi perilaku harus diarahkan
kepada ketiga faktor pokok tersebut.
Perilaku manusia pada
hakikatnya adalah suatu aktifitas dari manusia itu sendiri yang mencakup
berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, bahkan kegiatan internal seperti
berpikir, persepsi dan emosi.
Perilaku kesehatan pada
dasarnya adalah suatu respons seseorang baik
bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap), maupun bersifat aktif
(tindakan yang nyata atau practice) terhadap stimulus yang berkaitan
dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makanan serta lingkungan. Perilaku kesehatan berkaitan dengan tindakan
atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya.
Termasuk juga tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit, kebersihan perorangan,
memilih makanan, sanitasi dan sebagainya.
1.
Pengetahuan
Pengetahuan merupakan
hasil tahu setelah adanya penginderaan terhadap suatu objek dan sangat penting
dalam pembentukan tindakan seseorang
Sebelum orang
mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses berurutan
yakni :
a.
Awareness (kesadaran), dimana orang
tersebut menyadari dalam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
b.
Interest (merasa tertarik) terhadap
stimulus atau objek tersebut. Disini sikap
subjek sudah mulai timbul.
c.
Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap
baik atau tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap
responden sudah lebih baik lagi.
d.
Trial, dimana subjek mulai mencoba
melakukan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
e.
Adoption, dimana subjek telah
berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Perilaku yang didasari
oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif akan bersifat langgeng.
Sebaliknya perilaku yang tidak didasari pengetahuan dan kesadaran tidak akan
berlangsung lama. Ada enam tingkatan pengetahuan yakni :
a.
Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai
mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam
pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang
spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah
diterima. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
Kata kerja untuk
mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan,
menguraikan, mendefinisikan dan sebagainya
b.
Memahami (comprehension)
Memahami diartikan
sebagi suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui
dan dapat menginterpretasikan materi secara benar. Orang yang telah paham
terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,
menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
c.
Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan
sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi
atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi
atau penggunaan hukum-hukum, rumus,
metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
d.
Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu
kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek kedalam komponen, tetapi masih didalam suatu stuktur organisasi
tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat
dilihat dari penggunaan kata-kata kerja menggambarkan (membuat bagan),
membedakan, memisahkan dan sebagainya.
e.
Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan
suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam
suatu bentuk ke seluruhan yang baru. Dengan kata lain kemampuan menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
f.
Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan
dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu
materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan
sendiri atau kriteria yang telah ada.
2.
Sikap
Sikap adalah reaksi
atau respon seseorang yang masih tertutup suatu stimulus atau objek. Sikap itu
tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu
dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya
kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu.
Sikap merupakan
kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.
Sikap merupakan reaksi
terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.
Sikap mempunyai tiga komponen pokok :
a.
Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep
terhadap objek.
b.
Kehidupan emosional atau evaluasi
terhadap suatu objek.
c.
Kecenderungan untuk bertindak (trend to
behave)
Ketiga komponen ini
membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh
ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Sikap
terdiri dari berbagai tingkatan, yakni :
a.
Menerima (Receiving)
Menerima diartikan mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan objek
b.
Merespons (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan
dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena
dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang
diberikan, lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti menerima ide
tersebut.
c.
Menghargai
Mengajak orang lain untuk
mengerjakan atau mendiskusikan dengan
orang lain terhadap suatu masalah adalah indikasi sikap tingkat tiga.
d.
Bertanggung jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah
sikap yang paling tinggi.
BAB III
KERANGKA KONSEP
A.
Dasar
Pemikiran Variabel Yang DiTeliti
1.
Kelembaban Rumah dan Suhu Rumah
Kelembaban udara dalam
rumah minimal 40% – 70% dan suhu ruangan yang ideal antara 18 0C – 30 0C. Bila
kondisi suhu ruangan tidak optimal, misalnya terlalu panas akan berdampak pada
cepat lelahnya saat bekerja dan tidak cocoknya untuk istirahat. Sebaliknya,
bila kondisinya terlalu dingin akan tidak menyenangkan dan pada oran-orang
tertentu dapat menimbulkan alergi. Hal ini perlu diperhatikan karena kelembaban
dalam rumah akan mempermudah berkembangbiaknya mikroorganisme antara lain
bakteri spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke
dalam tubuh melalui udara ,selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan
membran mukosa hidung menjadi kering sehingga
kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme.
2.
Luas Ventilasi
Jendela dan lubang
ventilasi selain sebagai tempat keluar masuknya udara juga sebagai lubang
pencahayaan dari luar, menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap
segar. Menurut indikator pengawasan rumah luas ventilasi yang memenuhi syarat
kesehatan adalah ≥ 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi
syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai
rumah. Luas ventilasi rumah yang < 10% dari luas lantai (tidak
memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen
dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi
penghuninya. 24) Di samping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan
peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari
kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan
yang tinggi akam menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya
bakteri-bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis. 20)
3.
Intensitas Pencahayaan
Cahaya matahari selain
berguna untuk menerangi ruang juga mempunyai daya untuk membunuh bakteri. Sinar
matahari dapat dimanfaatkan untuk pencegahan penyakit tuberkulosis paru, dengan
mengusahakan masuknya sinar matahari pagi ke dalam rumah. Cahaya matahari masuk
ke dalam rumah melalui jendela atau genteng kaca. Diutamakan sinar matahari
pagi mengandung sinar ultraviolet yang dapat mematikan kuman. Kuman
tuberkulosis dapat bertahan hidup bertahun-tahun lamanya, dan mati bila terkena
sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan panas api. Rumah yang tidak masuk
sinar matahari mempunyai resiko menderita tuberkulosis 3-7 kali
dibandingkan dengan rumah yang dimasuki
sinar matahari.25)
4.
Kepadatan Hunian
Ukuran luas ruangan
suatu rumah erat kaitannya dengan kejadian tuberkulosis paru. Disamping itu Asosiasi
Pencegahan Tuberkulosis Paru Bradbury mendapat kesimpulan secara statistik
bahwa kejadian tuberkulosis paru paling besar diakibatkan oleh keadaan rumah
yang tidak memenuhi syarat pada luas ruangannya. 21 Semakin padat penghuni
rumah akan semakin cepat pula udara di dalam rumah tersebut mengalami
pencemaran. Karena jumlah penghuni yang semakin banyak akan berpengaruh terhadap kadar oksigen dalam ruangan tersebut,
begitu juga kadar uap air dan suhu udaranya. Dengan meningkatnya kadar CO2 di
udara dalam rumah, maka akan memberi kesempatan tumbuh dan berkembang biak
lebih bagi Mycobacterium tuberculosis. Dengan demikian akan semakin banyak
kuman yang terhisap oleh penghuni rumah melalui saluran pernafasan.
5.
Jenis Lantai
Komponen yang harus
dipenuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air dan tidak lembab. Jenis lantai
tanah memiliki peran terhadap proses kejadian Tuberkulosis paru, melalui kelembaban
dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, pada musim panas
lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya.
B. Variabel
Penelitia
C. Definisi
Operasional dan Kriteria Objektif
D. Hipotesis
Penelitian